Langsung ke konten utama

Mushalla Kecil Belakang Rumah

Suara adzan yang sangat khas itu selalu turut ramai menghiasi 5 waktu shalat, bersahut-sahutan dengan muadzin-muadzin dari mushalla dan masjid di sekitarnya. Ya, suara lelaki itu memang amat sangat khas. Bukan merdu, bukan pula lantang menggema. Suaranya begitu... sederhana.


Sehari-hari jika sedang dirumah, suara lelaki itu tak pernah terlewat dari gendang telingaku, menandai waktu-waktu shalat. I can say that his voice is one of the sounds that I grow up together with. Aku bahkan tak bisa mengingat-ingat kapan pertama kalinya mendengar suara khas lelaki itu dari pengeras suara mushalla kecil di belakang rumahku. Setiap waktu shalat datang, ada beberapa jenis suara adzan yang lekat sekali di telingaku karena memang selalu dikumandangkan bersahut-sahutan satu sama lain. Suara sederhana lelaki itu juga turut serta. 

Sehari-harinya aku terbiasa berjamaah di mushalla yang terletak pas di samping rumah, maka aku tak pernah satu kalipun singgah shalat di mushalla kecil itu. Mungkin hanya sekali dua kali lewat didepannya, mungkin juga dulu saat kecil pernah iseng main-main disitu bersama teman-teman anak-anak tetangga sekitar. Hanya mushalla kampung yang sederhana, yang dengan ikhlas menjadi sumber pahala 27 derajat bagi warga sekitar. Slightly, tidak ada yang istimewa.
Sebulanan ini aku tinggal dirumah; menggantikan 5 bulan yang kukorbankan untuk menimba ilmu di kota rantau. Kembali kerumah, banyak hal yang menyambutku, termasuk suara sederhana lelaki itu dari masjid kecil di belakang rumah. Tidak hanya mengumandangkan seruan Allah, ia juga tidak pernah absen melantunkan syair puji-pujian dalam bahasa arab yang biasa dibaca sembari mengisi jeda antara adzan sampai dimulainya shalat berjamaah. Sependengaran telingaku, belum pernah satu kalipun suara itu berganti. Baik dari adzan, syair pujian, sampai iqamah, semua dengan suara yang sama, dan belum pernah terdengar jenis suara lain mengalun dari mushalla kecil itu. Selalu suara itu.
Dalam hati dulu aku sempat membatin, "kenapa orang ini terus sih? Suaranya biasa aja, kenapa ga ada yang ganttin atau paling nggak shift2an gitu?". Tapi ya kusimpan sendiri lah pertanyaan itu, kuanggap tak terlalu penting. Dan kemarin siang, ketika sedang duduk-duduk santai sama Ibu, seperti biasa suara lelaki itu menggema melantunkan syair puji-pujian kepada Yang Maha Segalanya sembari menunggu waktu jamaah shalat Dzuhur. Tiba-tiba, Ibu memberitahu aku suatu hal yang kurang lebih menjawab pertanyaan dalam batinku sejak bertahun-tahun itu.
Beliau bilang, "Kamu tau nggak suara siapa ini? Dari langgar kecil belakang ini.. Orang ini, Buta. Dan dia kayaknya udah ga punya keluarga."
Seketika aku terhenyak dan hanya bisa menganga. Oiya??? Masa sih? Kaget. Shocked. Speechless.

Suara sederhana yang turut menghiasi langit paling tidak 5 kali sehari itu, datang dari seorang lelaki tua yang hidup sebatang kara, dan, tuna netra.

Kenyataan ini terngiang-ngiang terus di kepalaku. Aku jadi kasihan.
Bukan. Bukan pada bapak muadzin tua itu. Tapi pada diriku sendiri.

Dan pertanyaanku pun terjawab otomatis tanpa perlu analisis rumit;
Mushalla kecil itu adalah tempat ia mengabdikan diri. Ikhlas. Tak menuntut pamrih apapun.
Hanya dengan memakmurkan mushalla itu, ia sudah merasa bahagia dan berarti. Hidupnya bermakna, dan bermanfaat bagi banyak orang. Ia tak perlu dilihat dan diakui keberadaannya oleh manusia. Baginya, cukup Allah yang memberikan penghargaan dan pengakuan.

Semoga panjenengan selalu sehat dan disayangi Allah, wahai Pak Muadzin. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mein Traumhaus

Ich habe ein Traumhaus. Mein Traumhaus is in der Stadt, in London. Es hat ein Wohnzimmer, vier Schlafzimmer, ein Esszimmer, zwei Badezimmer, eine Küche, einen Leseraum, eine Garage, und viele Fenster. Im Esszimmer stehen fünf Stühle, ein Tisch, und ein Teppich. Das Wohnzimmer hat zwei Sofas, zwei Sessels, einen Tisch, zwei Zimmerpflanzen, einen Kamin, und einen Fernseher. Die Küche ist ziemlich klein aber das ist schön und sauber. Der Leseraum ist mein Lieblingsplatz in das Haus. Da stehen ein Sofa mit viele Kissen, ein Tisch, ein Teppich, eine Holzleiter, zwei Stehlampen, und natürlich, ein groß Bücherregal mit viele Bücher. In das Bücherregal gibt es Romane, Enzyklopädie, Wörterbücher, Geschichtsbücher, Landkarten, und die anderen. Der Leseraum ist breit, ruhig, sehr angenehm und hell! Das haus hat auch ein Schwimmbad und einen Garten. Ich kann es spielen mit meine Familie. Dieses Haus ist nicht billig, aber das ist normal. Mein Traumhaus ist sehr schön...

Your Call

Seharusnya, hari itu biasa-biasa saja, Malam itu simpel-simpel saja, Termasuk juga, dering ponsel itu, tidak berpengaruh apa-apa. Seharusnya. Semestinya, Melihat ponsel berkedip-kedip itu tak mengubah sesuatupun, Mendengar getar ponselku yang tenang itu tak menggemuruhkan, Melihat nama yang berkerlip sejenak di layar 4.7 inci itu tak menggoyahkan apapun. Semestinya. Bagaimanapun, saya nggak kuasa menampik, Perubahan aneh yang kamu datangkan dan memercik detak, Efek dahsyat yang sudah kamu bawa hanya dengan menampakkan nama sekian detik, Kekacauan yang telah kamu picu hanya dengan menggerakkan ponsel saya sejenak, Seumpama kamu tahu dan melihat, Petir yang berhasil kamu sambarkan, Badai yang berhasil kamu hembuskan, Keributan yang berhasil kamu timbulkan. Terima kasih, atas sedikit kehebohan ini. The words popping up on my head after a casual before-bed-talks listening to a roommate's story. Chin up, girl? You're such a fab! :D

The Unspoken First Love...

"eh, lu kudu tanggung jawab..." 'ha? tanggung jawab kenapa?' "tanggung jawab, kita jadi deket kamu yg mulai." 'lho kenapa jadi aku?' "lah yg minta nomer kan kamu. keterusan gini, kalo aku jadi naksir yoopo terus?" 'lha kok iso.. ya ga mungkinlaah' "gatau, kan aku bilang 'kalau'. bisa aja dong," 'yaelah mas gak kiro lah ada2 aja kamu' "misalnya deh sekarang ini aku udah kadung naksir, kamu mau apa?" 'aduh ngga bakalan lah itu.. apaan deh,' "kalo sampe beneran gimana? menurut kamu sekarang," '.....' "kayaknya aku naksir kamu. tanggung jawab -.-' "