Aku mengenalnya pertama kali saat orientasi kampus.. Dua tahun lalu.
Ketika kebanggaan akan keberhasilan menjadi salah satu mahasiswi di kampus
kuning itu masih membuncah ke puncak, di ruangan megah nan besar dalam pakaian
serba putih polos yang kukenakan, lengkap dengan nametag bertuliskan
nama dan asal sekolahku, aku melihat dia berdiri di atas panggung di depan sana
bersiap memberi sambutan untuk aku dan sekitar 6000 teman baruku yang lain.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, kata MC tadi. Siang hari yang panas ditambah
dengan puasa yang sedang aku jalani, sukses membuyarkan segenap konsentrasiku dari
tadi, namun ada yang berbeda ketika suaranya mulai menggaung melalui pengeras
suara di setiap sudut penjuru ruangan. Fokusku terkumpul kembali. Aku
mendongakkan kepala lebih tinggi lagi, menyipitkan mata, memastikan bahwa aku
bisa melihatnya dengan jelas. Oh, itu toh orangnya, ujarku dalam hati.
Ya, aku sudah mengenal, ehm, tepatnya mengetahuinya, dari sebelum aku
injakkan kaki di kampusku ini. Meski hanya dari dunia maya, aku terkesan
dibuatnya. Namanya juga beberapa kali kudengar dibicarakan oleh kakak-kakak
kelasku dan rekan-rekan di OSIS. Aku tau dia memimpin salah satu pergerakan
penting terkait isu besar yang sedang panas di tahun itu. Dan, hmm.. mungkin
itu salah satu yang membuatku sangat tidak sabar untuk segera memulai kehidupan
sebagai mahasiswi setelah dinyatakan diterima di kampus tertua negeri ini. Ah,
ya, motivasi sederhana dari seorang anak SMA biasa.
Dia berada empat tingkat di atasku. Saat aku masuk, semestinya dia sudah
diwisuda. Tapi karena ia Ketua BEM Universitas, sehingga dia harus cuti selama
periode kepemimpinannya (memang sudah kewajiban dari pihak akademik kampus),
dan kelulusannya tertunda 1 tahun. Dia berasal dari fakultas yang berbeda
denganku, dari jurusan yang dikenal paling sulit di fakultas itu. Dan... ehm..
aku tidak tahu lagi apa-apa tentangnya, saat itu.
Kesempatan itu akhirnya datang tanpa diduga. Ya, aku akhirnya bisa bertemu
dan berkenalan langsung dengannya. Salah satu tugas orientasi yang aku dapat ialah meng-interview tokoh kampus,
dan kelompokku kebagian ‘rezeki’ mewawancarai dia. How amazing, eh?! Sebulan
kemudian, orientasi kampus selesai dan aku bisa memproklamirkan diri sebagai
seorang mahasiswi. Yeay! But, I knew something didn’t change.. Yap, that tiny
little crush. And as time went by, I found out it grows, bigger and even
bigger..
Keinginan mengikuti berbagai macam organisasi dan kepanitiaan adalah hal
yang lumrah dan bahkan kerap disebut sebagai newbie’s excitement. Aku pun tak luput dari sindrom itu. Dan tak
dinyana, itu menjadi salah satu jalanku untuk ‘bertemu’ dengannya. Dimulai dari
suatu event yang mengundangnya sebagai salah satu pembicara, aku dengan senang
hati melibatkan diri di dalamnya. Bukan semata-mata karena dia, memang. Tapi
aku tak munafik, keberadaan dia adalah salah satu alasanku.
As my crush for him grew up, and so do my fear. Sudah bukan rahasia lagi kalau
dia adalah salah satu common crush di
kampus. Bagaimana tidak. Aktivis, iya. Cerdas, jelas. Berkarisma, tegas,
pintar. Tampang oke. Dan dengan segala kualitas yang ia miliki, dia sangat,
sangat rendah hati. Down to earth, low profile. Kurang apa lagi, coba? Itulah
kenapa, aku hanya bisa menyimpan rapat-rapat sendiri. Tidak ada yang tahu,
bahkan sahabat terdekatku. Sikap ‘netral’ dan ekspresi ‘biasa saja’ yang
kutunjukkan, rupanya sukses mengelabui semua orang. Yet I knew someone was never able to be fooled like the others; my self.
Waktu berlalu, dan setahun kemudian, bersamaan dengan selesainya tingkat
satuku, tiba jugalah saat untuk wisuda kelulusannya. Aku senang, tapi kesedihan
lebih menguasaiku. I sincerely congratulated him, but deep inside, I’m
suffering. Hei, aku belum pernah bilang apapun padanya! Tapi, yah, bagaimana
lagi.. There was really nothing I could do..
Sekitar 1 atau 2 bulan setelah ia menyandang gelar sarjana, dia menulis di
salah satu akun media sosialnya. He said that... he’s going to London!
HE IS
GOING TO LONDON!
HE IS GOING TO ENGLAND!
Dia mendapat beasiswa penuh untuk studi master di salah satu
perguruan tinggi yang dinobatkan Times Higher Education sebagai universitas
pemegang peringkat 10 dunia untuk periode 2013-2014; Imperial College, London. Uh
well.. Kekagumanku padanya sudah benar-benar tidak dapat dilukiskan dengan
kata-kata. Dan hanya beberapa hari setelahnya, tibalah hari keberangkatannya,
hmm bisa dibayangkan kira-kira bagaimana yang aku rasakan? Ah, aku juga tak tau
frasa yang tepat untuk menggambarkannya.
Aku masih ingat betul update
pertamanya ketika dia menginjakkan kaki di Negeri Ratu Elizabeth. Menyadari
bahwa ia telah benar-benar berada sejauh 7.281 mil dari tempatku berada, entah sejak
saat itu lagu London-nya The Changcuters yang sebelumnya menurutku cheesy dan
‘nggak banget’, menjelma jadi lagu yang benar-benar pas mewakili..
London.. London.. Ingin ku kesana..
London.. London.. pergi
menyusulnya..
Suatu malam, aku membaca beberapa tulisannya mengenai kegiatan Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI) di United Kingdom (dia terpilih menjadi presidennya,
hanya 3 bulan setelah ia berada di London). Aku tidak tau apa yang ‘merasuki’ku
saat itu, yang aku tau adalah tiba-tiba aku meng-klik simbol ‘send’ setelah
mengetikkan beberapa kalimat di body email. Beberapa detik kemudian, muncul notifikasi bahwa pesanku
terkirim, dan aku kaget sendiri, seakan tersadar “what the heck was I doing??”
Tapi, sudah telanjur, dan dampaknya, jelas, aku jadi susah tidur semalaman!
Esok paginya, aku agak takut mengecek handphone. Berbagai pikiran berkecamuk. Tiada henti aku merutuk diri sendiri yang sudah mengirim email seenaknya. Tolol. Sampai akhirnya aku tak kuasa menahan perang yang membara dalam batin ini, kuraih handphone dari sudut meja. Hey! Icon amplop itu muncul. I'm a liar if I said I didn't expect him to answer. Yet I knew I wasn't anyone important to him. Did he even remember me? Aku sentuh icon itu, dan... siapa sangka? Email baru di inbox-ku itu datang darinya! DARINYA! Dari London!
Dia (masih) mengingat dan mengenalku! What a surprise, beautiful surprise! :”)
I haven’t had any continuous conversation with him during when we were still in the same campus, but ever since that mail, I knew something has changed. A little change, indeed. But it means
much. Beberapa kali bertukar kabar dan informasi tentang...apapun, membuatku selalu excited setiap
kali membuka icon amplop di handphoneku. It’s just so so so deeply happy knowing that (in fact) he truly
noticed me.
Semakin icon amplop itu bermunculan, lagi, dan lagi, semakin kuat magnet London menarikku ke dalam pusarannya. Seakan saktinya pesona kota itu sendiri yang memang sudah menghipnotisku sejak aku masih berseragam putih-merah belum cukup, ditambah lagi kini dengan kehadiran ia disana. Seringkali aku iri pada surat-surat virtual yang kutulis itu. Bisa pergi dan sampai ke Inggris hanya dengan satu klik saja. Hahahahaha, ah, mungkin aku memang sudah kehilangan rasional.
Sekitar sebulan lalu, aku mendapat kabar luar biasa; dia diterima untuk
melanjutkan pendidikan di dua universitas mentereng; Cambridge dan Oxford! Belum
genap 1 tahun studi S2nya di Imperial, dia sudah mendapat jaminan untuk S3.
Being accepted in the two world universities at once (with full scholarship)..
what a genius! Freakin' Genius! Aku, yang memang dari awal bertekad bulat untuk melanjutkan S2 di
Inggris, karena disanalah salah satu pusat pengembangan ilmu yang aku pelajari, semakin berlipat-lipat ganda dahsyatnya semangatku untuk meraih mimpi itu. Kelulusanku
dari kampus kuning ini masih 3 tahun lagi (karena ditambah 1 tahun fase klinik),
tapi sudah sangat tidak sabar rasanya untuk segera pergi dan belajar disana! :’)
Sekarang, (tidak terasa sangat terasa sekali), hampir 1 tahun sudah ia berada di London, dan hampir 2 tahun berlalu sejak aku
memendam kekaguman padanya. Kangen? Oh, aku bahkan tidak tau apa aku pantas
merindukannya. Yang aku tau, akan sangat, sangat kusyukuri jika bisa mendapatkan
kesempatan menapakkan jejakku di tanah kelahiran Emma Watson itu.
For me, England is always been a country of dreams. Harry Potter, my forever childhood bestfriends. Arctic Monkeys, whose songs have been accompanying me to get through the difficult phase in my life since highschool. Oxford, my ultimate dream campus, plus, the place where some HP scenes took place. Big Ben. London's Eye. Trafalgar Square, Stamford Bridge... you name it – And one more, him. He is one of my lovely reasons.
Inggris. Tempatku mengejar cita, dan cinta. :)
p.s.: Ini pertama kalinya saya ngepost fiksi. Based on a true-story of my dearest friend in college. Semangat, sist! :))
Komentar